Finansial

Bisnis

Bagaimana Mekanisme Anjak Piutang Syariah? Ini Penjelasannya

Kabrina Rian Ferdiani-

23 Feb 2021

Bagaimana Mekanisme Anjak Piutang Syariah? Ini Penjelasannya

Dalam memperoleh dana segar untuk menjalankan usaha, terdapat sebuah metode bernama anjak piutang atau factoring. Ini merupakan suatu pembiayaan dari pembelian atau pengambilalihan piutang dengan melibatkan pihak ketiga yaitu perusahaan factor. Perusahaan ini nantinya bertindak sebagai perantara antara kreditur (klien) dan debitur.

Di dalam ekonomi Islam, Anda tentu sudah tidak asing dengan istilah ekonomi berbasis syariah. Yaitu aktivitas di bidang perekonomian yang tidak melanggar prinsip-prinsip hukum Islam. Ini juga berlaku untuk jenis pembiayaan factoring. Nah, bagi Anda yang ingin memanfaatkan pembiayaan berprinsip hukum Islam sebaiknya menyimak pembahasan berikut ini.


Baca juga: Pendanaan Modal Invoice dan Anjak Piutang dalam Bisnis


Mekanisme Anjak Piutang Syariah yang Perlu Diketahui

Pembiayaan factoring dengan prinsip syariah menerapkan akad wakalah bil ujroh. Akad wakalah bil ujroh memiliki arti pelimpahan atau pemberian kuasa dari satu pihak yang disebut muwakkil kepada pihak lain (disebut waakil) dengan memberikan ujroh atau keuntungan (upah). 

Pada transaksi berbasis hukum Islam, perusahaan factor atau anjak piutang tidak menerima keuntungan dari imbalan atau bunga. Keuntungan yang diperoleh yaitu dari ujroh atau dalam bahasa sederhananya adalah komisi (fee). Sementara pembiayaan yang diberikan kepada klien dalam hal ini pihak kreditur bentuknya qard. 

Qard sendiri merupakan bentuk akad lainnya pada jenis pembiayaan ini. Qard dapat diartikan sebagai dana talangan atau pinjaman dengan jumlah sama seperti besaran piutang. Pada factoring syariah ini, pihak factor tidak diperbolehkan menerapkan bunga dari pembiayaan tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi Islam yakni tidak melibatkan unsur riba, gharar, dan maysir.

Namun sebagaimana perusahaan lain pada umumnya, factor tetaplah menjalankan bisnis dengan tujuan memperoleh keuntungan. Mungkin Anda bertanya-tanya darimana keuntungan yang diperoleh factor jika tidak ada penerapan bunga acuan. Keuntungan factor didapat dari fee atau ujroh yang dibayarkan oleh klien sebagai ganti pelayanan dan beban kerja.


Akad Wakalah bil Ujroh dalam Anjak Piutang Syariah

Dalam praktik keuangan syariah, setiap transaksi harus diawali dengan akad jelas. Begitu juga dengan praktik pembiayaan factoring dimana pihak-pihak terlibat harus bersepakat terkait aktivitas tersebut. Ada beberapa langkah atau mekanisme pada penerapan akad wakalah bil ujroh ini.

Anjak piutang syariah pertama, pihak pemilik piutang melimpahkan kuasa untuk melakukan pengurusan alias administrasi atas dokumen penjualan. Selain itu, al wakil dalam hal ini adalah factor juga bertugas sebagai penagih piutang kepada debitur atas nama kliennya atau kreditur. Penagihan serta upah kerja pengurusan dokumen tentu dikenakan fee tersendiri.

Kreditur menentukan perusahaan mana yang ditunjuk sebagai perwakilannya dalam mengurusi piutang baik berkaitan dengan pembiayaan maupun non pembiayaan. Penunjukan ini juga sebagai legitimasi bagi factor untuk melakukan penagihan atau collection kepada debitur. Di sisi lain, debitur juga bisa mewakilkan posisinya kepada pihak lain.

Pihak yang ditunjuk yaitu pelaksana anjak piutang selanjutnya menjadi wakil dari kliennya (kreditur). Tugas dari factor adalah memberikan dana talangan yang dalam prinsip ekonomi syariah disebut qard kepada kliennya. Jumlah qard yang diberikan senilai nominal piutang tanpa ada potongan. Inilah yang membedakan factoring syariah dan konvensional.

Nah, pelaksana factoring tadi akan memperoleh ujroh alias fee dari klien. Ini atas dasar pembayaran jasa yang telah diberikan factor yaitu berupa penagihan piutang kepada debitur maupun layanan non pembiayaan lainnya. Besarnya fee juga harus ditentukan di awal kesepakatan berupa nominal tetap, bukan persentase.


Baca juga: Kupas Tuntas Anjak Piutang: Definisi dan Jenis-Jenisnya


Perbedaan Anjak Piutang Syariah dan Konvensional

Di bawah ini adalah beberapa perbedaan anjak piutang syariah dan konvensional yang perlu diketahui.

Berdasarkan Sumber Hukum yang Digunakan

Dasar peraturan atau sumber hukum pada factoring konvensional adalah berdasarkan hukum negara, yaitu Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan mengenai factoring. Sementara factoring syariah mengacu pada Al-Qur’an serta Al-Hadits dan juga fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI tentang factoring.

Keuntungan bagi Factor

Dalam anjak piutang konvensional, perusahaan factor mendapatkan keuntungan yang mengacu pada tingkat bunga. Besarnya ditentukan oleh perusahaan factor sesuai acuan bunganya. Sedangkan pembiayaan yang sama pada prinsip syariah, factor memperoleh keuntungan dari ujroh atau fee yang jumlahnya disesuaikan kesepakatan dengan klien.

Kehalalan Transaksi

Factoring syariah, layaknya pada transaksi keuangan atau perdagangan apapun di dalam Islam menerapkan prinsip terbebas dari unsur gharar, maysir, dan juga riba. Aturan ini tidak terdapat pada praktik factoring konvensional. Sehingga bagi umat Islam, jenis syariah memiliki kejelasan hukum Islam yang lebih pasti.

Berdasarkan Perjanjiannya

Anjak piutang syariah menerapkan akad wakalah bil ujroh dimana klien melimpahkan kuasa kepada pihak lain (factor) untuk mengelola serta menagihkan piutangnya. Sementara itu, pihak yang berkedudukan sebagai wakil yaitu factor berhak menerima ujroh atau fee karena telah memberikan jasa penagihan. Factoring konvensional mengacu pada hukum negara dalam perjanjiannya.

Berdasarkan Objeknya

Dalam anjak piutang syariah, barang yang menjadi objek harus diketahui kehalalannya. Tagihan atau kredit yang sifatnya tidak halal tidak diperbolehkan menjadi objek pembiayaan factoring syariah karena tidak memenuhi syarat. Sebaliknya, pembiayaan yang sama pada praktik konvensional tidak terdapat ketentuan khusus mengenai status kehalalan objek. 

Keterlibatan DPS (Dewan Pengawas Syariah)

Pembiayaan anjak piutang syariah melibatkan peran dari DPS atau DPS. Dengan demikian, praktik pembiayaan ini lebih terjamin dari adanya unsur gharar, maysir, serta riba. Sementara jenis konvensional tidak melibatkan DPS dalam pengawasan prosesnya melainkan hanya mengacu pada aturan negara.

Pebisnis muslim biasanya tidak hanya fokus pada pelaksanaan usahanya tetapi juga memperhatikan kehalalan transaksi termasuk dalam memperoleh sumber dana dari pembiayaan. Jika Anda ingin lebih berhati-hati dan terus berpegangan dengan prinsip Islam, anjak piutang syariah bisa menjadi pilihannya.

Artikel Terkait
image image
Artikel Baru